Sabtu, 17 Juli 2010

ENZIM II


Pendahuluan
Enzim adalah molekul biopolimer yang tersusun dari serangkaian asam amino dalam komposisi dan susunan rantai yang teratur dan tetap. Enzim memegang peranan penting dalam berbagai reaksi di dalam sel. Sebagai protein, enzim diproduksi dan digunakan oleh sel hidup untuk mengkatalisis reaksi, antara lain konversi energi dan metabolisme pertahanan sel. Amilase mempunyai kemampuan untuk memecah molekul-molekul pati dan glikogen Molekul pati yang merupakan polimer dari alfa-D-glikopiranosa akan dipecah oleh enzim pada ikatan alfa-1,4- dan alfa-l,6-glikosida. Enzim digolongkan menurut reaksi yang diikutinya, sedangkan masing-masing enzim diberi nama menurut nama substratnya, misalnya urease, arginase dan lain-lain. Di samping itu ada pula beberapa enzim yang dikenal dengan nama lama misalnya pepsin, tripsin dan lain-lain.
Enzim dibagi dalam enam golongan besar oleh Commision on Enzymes of the International Union of Biochemistry. Penggolongan ini didasarkan atas reaksi kimia di mana enzim memegang peranan Dalam mempelajari mengenai enzim, dikenal beberapa istilah diantaranya holoenzim, apoenzim, kofaktor, gugus prostetik, koenzim, dan substrat. Apoenzim adalah suatu enzim yang seluruhnya terdiri dari protein, sedangkan holoenzim adalah enzim yang mengandung gugus protein dan gugus non protein. Gugus yang bukan protein tadi dikenal dengan istilah kofaktor. Pada kofaktor ada yang terikat kuat pada protein dan sukar terurai dalam larutan yang disebut gugus prostetik dan adapula yang tidak terikat kuat pada protein sehingga mudah terurai yang disebut koenzim. Baik gugus prostetik maupun koenzim, keduanya merupakan bagian yang memungkinkan enzim bekerja pada substrat. Substrat merupakan zat-zat yang diubah atau direaksikan oleh enzim (Poedjiadi 2006).
Enzim dikatakan sebagai suatu kelompok protein yang berperan dalam aktivitas biologis. Enzim ini berfungsi sebagai katalisator dalam sel dan sifatnya sangat khas. Dalam jumlah yang sangat kecil, enzim dapat mengatur reaksi tertentu sehingga dalam keadaan normal tidak terjadi penyimpangan hasil reaksinya. Enzim akan kehilangan aktivitasnya karena panas, asam dan basa kuat, pelarut organik atau apa saja yang bisa menyebabkan denaturasi protein. Enzim dinyatakan mempunyai sifat yang sangat khas karena hanya bekerja pada substrat tertentu (Girinda 1990).
Enzim merupakan unit fungsional dari metabolisme zat, bekerja dengan urutan yang teratur. Enzim mengkatalis ratusan reaksi tahap yang menguraikan molekul nukleat. Reaksi yang menyimpan dan mengubah energi kimia dan membuat makromolekul sel dan prekusor sederhana. Diantara sekelompok yang berpartisipasi dalam metabolisme terdapat sekelompok khusus yang dikenal sebagai enzim pengatur yang dapat mengenali berbagai isyarat metabolik dan mengubah kecepatan kataliknya sesuai dengan isyarat yang diterima. Melalui aktivitasnya, sistem enzim terkoordinasi dengan baik menghasilkan suatu hubungan yang harmonis antara sejumlah aktivitas metabolik yang berbeda yang diperlukan untuk menunjang kehidupan (Lehnninger 1995).
Fungsi penting dari enzim adalah sebagai biokatalisator, reaksi kimia secara kolektif membentuk metabolisme perantara sel, suatu bagian yang sangat kecil dari suatu molekul besar protein enzim sangat berperan untuk katalis reaksi. Bagian yang kecil ini dinamakan bagian aktif enzim. Aktivitas katalik enzim dapat ditentukan juga melalui struktur tiga dimensi molekul enzim tersebut. Enzim disini mempunyai peranan katalis dalam menurunkan aktivitas dari reaksi energi. Aktivasi dapat diartikan sebagai sejumlah energi atau kalori yang diturunkan oleh suatu mol zat pada temperatur tertentu untuk membawa molekul kedalam aktifnya atau keadaan aktifnya, menurunkan energi aktivasi, mempercepat reaksi pada suhu dan tekanan tetap tanpa mengubah besarnya tetapan seimbangnya, dan mengendalikan reaksi (Wirahadikusuma 1989). Enzim terdiri atas dua bagian, yaitu koenzim dan apoenzim. Koenzim dan apoenzim membentuk haloenzim yang merupakan enzim aktif. Tanpa adanya koenzim, enzim menjadi tidak aktif (Winarno 1983).
            Enzim memegang peranan penting dalam berbagai reaksi dalam sel. Sebagai protein, enzim diproduksi dan digunakan oleh sel hidup untuk mengkatalisis reaksi seperti konversi energi dan metabolisme pertahanan sel. Enzim amilase memiliki kemampuan untuk memecah molekul-molekul pati dan glikogen. Molekul pati yang merupakan polimer dari alfa-D-glikopiranosa akan dipecah oleh enzim pada ikatan alfa-1,4- dan alfa-1,6-glikosida (Hart 2003).
Enzim amilase dapat diperoleh dari sekresi air liur atau saliva. Saliva adalah suatu cairan oral yang kompleks dan tidak berwarna yang terdiri atas campuran sekresi dari kelenjar ludah besar dan kecil yang ada pada mukosa oral. Saliva dapat disebut juga kelenjar ludah atau kelenjar air liur. Semua kelenjar ludah mempunyai fungsi untuk membantu mencerna makanan dengan mengeluarkan suatu sekret yang disebut “saliva” (ludah atau air liur). Pembentukan kelenjar ludah dimulai pada awal kehidupan fetus (4 - 12 minggu) sebagai invaginasi epitel mulut yang akan berdiferensiasi ke dalam duktus dan jaringan asinar.
Saliva merupakan cairan mulut yang kompleks terdiri dari campuran sekresi kelenjar saliva mayor dan minor yang ada dalam rongga mulut. Saliva sebagian besar yaitu sekitar 90 persennya dihasilkan saat makan yang merupakan reaksi atas rangsangan yang berupa pengecapan dan pengunyahan makanan (Kidd 1992).
Saliva terdapat sebagai lapisan setebal 0,1-0,01 mm yang melapisi seluruh jaringan rongga mulut. Pengeluaran air ludah pada orang dewasa berkisar antara 0,3-0,4 ml/menit sedangkan apabila distimulasi, banyaknya air ludah normal adalah 1-2 ml/menit. Menurunnya pH air ludah (kapasitas dapar / asam) dan jumlah air ludah yang kurang menunjukkan adanya resiko terjadinya karies yang tinggi. Meningkatnya pH air ludah (basa) akan mengakibatkan pembentukan karang gigi.
Saliva memiliki beberapa fungsi, yaitu melicinkan dan membasahi rongga mulut sehingga membantu proses mengunyah dan menelan makanan, membasahi dan melembutkan makanan menjadi bahan setengah cair ataupun cair sehingga mudah ditelan dan dirasakan, membersihkan rongga mulut dari sisa-sisa makanan dan kuman, mempunyai aktivitas antibacterial dan sistem buffer, membantu proses pencernaan makanan melalui aktivitas enzim ptyalin (amilase ludah) dan lipase ludah, perpartisipasi dalam proses pembekuan dan penyembuhan luka karena terdapat faktor pembekuan darah dan epidermal growth factor pada saliva, jumlah sekresi air ludah dapat dipakai sebagai ukuran tentang keseimbangan air dalam tubuh dan  membantu dalam berbicara (pelumasan pada pipi dan lidah).
Tujuan Percobaan
            Praktikum bertujuan menentukan aktvitas enzim terhadap pengaruh suhu, pH, konsentrasi substrat, dan konsentrasi enzim.

Alat dan Bahan
            Alat-alat yang digunakan adalah tabung reaksi, pipet tetes, pipet Mohr, gelas piala, bulb, kaki tiga, pembakar spirtus,
            Bahan-bahan yang digunakan adalah air liur, air suling, Na2CO3, kanji, pereaksi Iod, pereaksi Benedict, HCl, CH3COOH.

Prosedur Percobaan
Penentuan pengaruh suhu pada aktivasi amilase air liur dilakukan dengan disiapkan 4 tabung reaksi berisi 2 ml air liur. Air liur ditambahkan 2 ml aquades dan dikocok. Tabung dibuat pada suhu 5oC, 28oC, 37oC, dan 100oC menggunakan penangas air. Diamkan selama 15 menit dan ditambahkan 2 ml larutan kanji 1% dan dikocok hingga merata. Lakukan uji iod dan benedict.
Penentuan pengaruh pH pada aktivasi amilase air liur dilakukan dengan disiapkan 4 tabung reaksi berisi 2 ml air liur. Tabung diatur pada suhu 1,5,7, dan 9 dengan cara tabung ditambahkan pereaksi berturut-turut 2 ml HCl, 2 ml asam asetat, 2 ml aqudes, dan 2 ml Na-karbonat 0,1%. Diamkan selama 15 menit pada penangas air 37% dan ditambahkan 2 ml larutan kanji 1% dan dikocok hingga merata. Lakukan uji iod dan benedict.
Penentuan hidrolisis pati matang dengan berbagai variasi [substrat] dan [enzim] dilakukan dengan dimasukkan 2 ml air liur dalam tabung reaksi. Atur suhu 37oC dan ditambahkan larutan kanji 1%. Tiap 5 menit diuji dengan papan uji dan ditambahkan yodium hingga tidak berwana kemudian catat waktunya.
Pembahasan
            Percobaan dilakukan dengan menguji enzim yang terkandung dalam air liur (saliva). Enzim berfungsi meningkatkan laju sehingga terbentuk kesetimbangan kimia antara produk dan pereaksi. Pada keadaaan kesetimbangan, istilah pereaksi dan produk tidaklah pasti dan bergantung pada pandangan kita. Dalam keadaan fisiologi yang normal, suatu enzim tidak mempengaruhi jumlah produk dan pereaksi yang sebenarnya dicapai tanpa kehadiran enzim. Jadi, jika keadaan kesetimbangan tidak menguntungkan bagi pembentukan senyawa, enzim tidak dapat mengubahnya (Salisbury dan Ross, 1995).
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi fungsi enzim antara lain suhu , pH, konsentrasi substrat,  konsentrasi enzim dan zat-zat penghambat. Suhu berpengaruh terhadap fungsi enzim karena reaksi kimia menggunakan  katalis enzim yang dapat dipengaruhi oleh suhu. Di samping itu, karena enzim adalah suatu protein, maka kenaikan suhu dapat menyebabkan denaturasi dan bagian aktif enzim akan terganggu, sehingga konsentrasi dan kecepatan enzim berkurang. Kemudian pH berpengaruh terhadap fungsi enzim karena pada umumnya efektifitas maksimum suatu enzim pada pH optimum, yang lazimnya berkisar antara pH 4,5 – 8,0.
Pada pH yang terlalu tinggi atau terlalu rendah umumnya enzim menjadi non aktif secara irreversibel karena menjadi denaturasi protein. Kemudian konsentrasi enzim, seperti pada katalis lain kecepatan suatu reaksi yang menggunakan enzim tergantung pada konsentrasi enzim tersebut. Pada suatu konsentrasi substrat tertentu, kecepatan reaksi bertambah dengan bertambahnya konsentrasi enzim. konsentrasi substrat, hasil eksperimen menunjukkan bahwa dengan konsentrasi substrat akan menaikkan kecepat reaksi. Akan tetapi, pada batas tertentu tidak terjadi kecepatan reaksi, walaupn konsenrasi substrat diperbesar. Zat-zat penghambat, hambatan atau inhibisi suatu reaksi akan berpengaruh terhadap penggabungan substrat pada bagian aktif yang mengalami hambatan. Suatu enzim hanya dapat bekerja spesifik pada suatu substrat untuk suatu perubahan tertentu. Misalnya, sukrase akan menguraikan rafinosa menjadi melibiosa dan fruktosa, sedangkan oleh emulsin, rafinosa tersebut akan terurai menjadi sukrosa dan galaktosa (Salisbury dan Ross, 1995).
            Pada perubahan suhu, kecepatan reaksi yang dikatalisis oleh enzim mula-mula meningkat karena adanya peningkatan suhu. Energi kinetik akan meningkat pada kompleks enzim dan substrat yang bereaksi. Namun, peningkatan energi kinetik oleh peningkatan suhu mempunyai batas yang optimum. Jika batas tersebut terlewati, maka energi tersebut dapat memutuskan ikatan hidrogen dan hidrofobik yang lemah yang mempertahankan struktur sekunder-tersiernya. Pada suhu ini, denaturasi yang disertai dengan penurunan aktivitas enzim sebagai katalis akan terjadi. Suhu optimal enzim bergantung pada lamanya pengukuran kadar yang dipakai untuk menentukannya. Semakin lama suatu enzim dipertahankan pada suhu dimana strukturnya sedikit labil, maka semakin besar kemungkinan enzim tersebut mengalami denaturasi.
Pada suhu 5oC, besarnya aktivitas enzim cukup signifikan besarnya. Pada uji iod dan benedict diperoleh hasil positif, seharusnya pada uji benedict diperoleh hasil negatif. Seharusnya pada suhu ini enzim dalam keadaan inaktif. Kesalahan yang mungkin terjadi disebabkan karena kurang cepatnya praktikan mengisolasi enzim sehingga enzim telah bereaksi pada suhu kamar dan akibatnya ada sedikit aktivitas enzim yang terjadi. Belum lagi suhu penangas air yang tidak stabil. Sehingga kemungkinan besar temperatur yang diinginkan 5oC tidak dapat tercapai. Pada suhu 25oC dan 37oC diperoleh hasil positif pada uji iod dan benedict. Suhu 25oC dan 37oC merupakan suhu dimana aktivitas enzim maksimal. Pada suhu ini reaksi berlangsung paling cepat. Hal ini terjadi karena temperatur ini merupakan temperatur normal tubuh manusia (suhu optimal enzim amilase salivarius adalah 25oC dan 37 oC). Kesalahan dapat timbul karena suhu di dalam ruangan laboratorium lebih tinggi daripada suhu ruangan yang normal (28 oC) atau mungkin karena inkubasi pada suhu 37 oC kurang tepat atau tidak akurat. Pada interval suhu 0oC-37oC, kecepatan reaksi enzimatik mengalami kenaikan. Setelah melewati suhu optimum (37oC), maka kecepatan reaksi enzimatik kembali menurun. Pada suhu 100oC diperoleh hasil uji iod dan benedict positif. Seharusnya pada uji benedict diperoleh hasil negatif, tetapi hasil percobaan menunjukkan hasil positif yang baik sekali. Hal ini dapat dikarenakan sampel telah terkontaminasi atau suhu 100oC tidak tercapai sebab pada suhu tersebut air mudah sekali menguap.
Gambar 9 Kurva hubungan temperatur dan kecepatan reaksi
Kondisi pH dapat mempengaruhi aktivitas enzim melalui pengubahan struktur atau pengubahan muatan pada residu yang berfungsi dalam pengikatan substrat atau katalis. Sebagai contoh, enzim bermuatan negatif (Enz-) bereaksi dengan substrat bermuatan positif (SH+) : Enz- + SH+ ® EnzSH. Pada pH yang rendah, Enz- mengalami protonasi dan kehilangan muatan negatifnya (enzim dinetralisir) : Enz- + H+ ® EnzH. Sedangkan pada pH yang tinggi, SH+ mengalami ionisasi dan kehilangan muatan positifnya (substrat dinetralisir) : SH+ ® S + H+. Karena (berdasarkan definisi) satu-satunya bentuk yang mengadakan interaksi adalah SH+ dan Enz-, nilai pH yang ekstrim (tinggi ataupun rendah) akan menurunkan kecepatan reaksi.
Pada kurva yang diperoleh melalui percobaan, dapat dilihat bahwa enzim amilase saliva memiliki pH optimal pada pH 7, karena pada pH ini diperoleh aktivitas enzim yang tinggi (kecepatan reaksi enzimatik tinggi). Umumnya, kecepatan reaksi enzimatik meningkat hingga mencapai pH optimal dan menurun setelah pH lebih besar dari pH optimal. Pada pH 1, 3, dan 5 aktivitas enzim masih ada, tetapi kecil (ditunjukkan oleh kecepatan reaksi enzimatik yang kecil pula). Hal ini disebabkan pada pH kurang dari 4, enzim amilase saliva menjadi tidak aktif. Pada pH 5 diperoleh hasil positif pada uji iod dan hasil negatif pada uji benedict. Seharusnya hasil yang diperoleh negatif untuk uji iod dan hasil positif untuk uji benedict sebab pada suhu tersebut enzim amilase tidak aktif. Karbohidrat seharusnya tidak terhidrolisis pada suhu tersebut.
Gambar 10 Kurva hubungan antara pH dan kecepatan reaksi
            Aktivitas enzim dipengaruhi oleh kadar enzim. Aktivitas enzim dan kadar enzim memiliki hubungan perbandingan yang lurus. Hal ini berarti semakin besar kadar enzim, semakin besar aktivitas enzim dan semakin cepat reaksi yang dikatalisis enzim. Apabila kadar substrat tetap dan kadar enzim turun, maka kecepatan rekasi yang dikatalisis enzim akan menurun karena enzim yang tersedia tidak cukup banyak untuk bereaksi dengan substrat. Reaksi enzimatik yaitu:
k1 k2
Enz + S Enz-S Enz + P
Semakin banyak enzim yang berikatan dengan substrat, kecepatan reaksi semakin meningkat dan semakin banyak kompleks enzim-substrat yang terbentuk. Maka produk yang terbentuk pun semakin banyak.  Hal ini disebabkan banyak enzim yang bereaksi dengan substrat sehingga kecepatan reaksi tinggi dan produk banyak yang dihasilkan. Semakin menurun kadar enzim, aktivitas enzim seharusnya semakin menurun.
Percobaan yang dilakukan praktikan tidak sesuai dengan hasil yang seharusnya didapat. Terjadi penyimpangan-penyimpangan sehingga kecepatan reaksi enzimatik tidak berbanding lurus dengan kadar enzim melainkan kecepatan enzim bervariasi naik turun terhadap kadar enzim. Penyimpangan tersebut dapat disebabkan oleh berbagai hal yaitu kesalahan waktu atau suhu saat pengeraman dan saliva sebagai sumber enzim telah dipengaruhi oleh pengenceran konsentrasi enzim oleh asam asetat yang digunakan untuk memicu pengeluaran saliva.

Gambar
11 Kurva hubungan konsentrasi enzim dan kecepatan reaksi
            Jika suhu naik, maka benturan antara molekul bertambah, sehingga reaksi kimia akan meningkat, dan sebaliknya. Enzim amilase bekerja pada suhu kompartemen ± 37˚C. Pemanasan yang dilakukan (meningkatkan suhu), mengakibatkan enzim amilase menjadi inaktif. Bahkan bila diberi perlakuan termal berlebihan dapat menyebabkan denaturasi koenzim (kompenen enzim yang berupa protein). Denaturasi adalah kerusakan sturuktural dari sebuah makromolekul (enzim amilase) yang disebabkan beberapa faktor sehingga tidak dapat mengubah amilum menjadi maltosa dengan produk antara berupa dekstrin. Akibatnya, amilum yang bereaksi dengan indikator warna, larutan iodium, tetap menghasilkan warna ungu meskipun didiamkan dalam waktu yang lama.
Pada suhu 45˚C aktivitas enzim masih menunjukkan kenaikan, jika suhu > 45˚C, akan timbul efek yang berlawanan dan menjelang suhu 55˚C fungsi katalitik enzim akan musnah. Dalam saliva yang tidak dipanaskan, dihasilkan warna ungu yang makin lama makin jernih. Hal ini menunjukkan bahwa pada suhu optimum, enzim amilase dapat menjalankan fungsinya, mengubah amilum menjadi maltosa. Amilum dan dekstrin yang molekulnya masih besar dengan iodium memberi warna biru, dekstrin-dekstrin antaranya (eritrodekstrin) memberi warna coklat kemerah-merahan. Sedangkan dekstrin-dekstrin yang molekulnya sudah kecil lagi (akhrodekstrin) dan maltosa tidak memberi warna dengan iodium. Titik saat campuran tidak memberi warna lagi (jernih) disebut titik akromatik. Bila setelah uji iod tidak berwarna diadakan uji Benedict akan memberikan warna positif yang berwarna hijau. Pada uji benedict, teori yang mendarsarinya adalah gula yang mengandung gugus aldehida atau keton bebas akan mereduksi ion Cu2+ dalam suasana alkalis, menjadi Cu+, yang mengendap sebagai Cu2O (kupro oksida) berwarna merah bata. Berikut reaksi yang berlangsung:
       O                                          O
                                                
R—C—H  + Cu2+ 2OH-  R—C—OH + Cu2O
Gula Pereduksi                     Endapan Merah Bata
Gambar 12 Reaksi gula pereduksi

Simpulan
            Uji hidrolisis pati oleh amilase dengan berbagai variasi suhu diperoleh hasil positif untuk uji iod pada suhu 5oC dan 100oC dan positif pada uji benedict untuk semua suhu, uji hidrolisis pati pada berbagai variasi pH diperoleh positif pada uji iod untuk pH 5 dan 9 dan positif pada uji benedict untuk pH 1 dan 3, hasil hidrolisis pati matang diperoleh hasil negatif untuk uji iod dan negatif untuk uji benedict serta titik akromatik diperoleh saat 5 menit untuk semua tabung.

Daftar Pustaka
Aisjah Girindra. 1986. Enzim dalam Biokimia 1. Jakarta: Gramedia
Dawn B.M. 2000. Biokimia Kedokteran Dasar. Jakarta: EGC. hal: 96-125
Dwidjoseputro D. 1992. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Jakarta: Gramedia
Kidd Bechal SJ. 1992. Dasar-dasar karies penyakit dan penanggulangannya. Jakarta: EGC
Murray Robert K. 2003. Biokimia Harper Edisi 25. Jakarta: EGC
Panil Zulbadar. 2004. Memahami Teori dan Praktek Biokimia Dasar Medis. Jakarta: EGC
Poedjiadi Anna. 2006. Dasar-dasar Biokimia. Jakarta: UI Press
Reynolds James E.F. 1993. Martindale The Extra Pharmacopoeia Edisi 30. London: The Pharmaceutical Press
Salisbury F.B. dan Ross C.W. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 2. Bandung: ITB Press
Suharso Martoharsono. 1986. Enzim dalam Biokimia. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. hal: 74
Suwandi M. 1989. Kimia Organik Edisi 1. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia